Ketika tiba saat perpisahan
Janganlah ada duka
Sebab yang paling kau kasihi dalam dirinya
Mungkin akan nampak lebih cemerlang dari kejauhan
Seperti gunung yang nampak lebih agung
Dari padang dan daratan.
(Kahlil Gibran)

Jumat, 30 April 2010

Apresiasi Untuk Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz

Jauh sebelum saya dilantik sebagai Rektor, saya sudah kenal nama Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz walaupun saya belum pernah bertatap muka. Prof Zaki Baridwan, sebagai pembantu Rektor II yang meneruskan jabatannya dari Rektor sebelumnya Prof Dr. Soekanto, menyodorkan
nama Prof. Machfudz sebagai penggantinya berhubung Prof. Zaki akan menempati posisinya yang baru di BPK. Pak Zaki bertanya pada saya “apakah saya bisa bekerjasama dengan Prof Mas’ud sebagai pembantu Rektor II”. Saya langsung saja menjawab “bisa”.

Dalam menggerakkan roda reformasi di Universitas, pak Machfoedz selalu berdampingan dengan saya. Di rekaman foto reformasi yang terjadi lapangan depan gedung Sabha Pramana yang memakai ikatan pita di kepala bertuliskan “reformasi damai” adalah pak Machfoedz dan saya.

Situasi krisis ekonomi dan politik menyelimuti periode kerektoran kami. Sekitar 5000 mahasiswa dari sekitar 45000 jumlah mahasiswa UGM terpaksa men-DO-diri sebagai akibat dari dampak krisis yang menimpa orangtua mereka. Sementara saya berkampanye di sejumlah media tentang nasib yang menimpa sebagian mahasiswa, pak Machfoedz berkeliling mencari tambahan dana untuk mengatasi persoalan tersebut. Salah satu bantuan yang utama berasal dari Lembaga Indonesia Australia yang memberi bantuan SPP untuk seribu mahasiswa tahun itu. Berkat negosiasi dan diplomasi pak Machfudz untuk tahun berikutnya UGM mendapat tambahan untuk 1000 mahasiswa lagi. Ditambah dengan sumbangan dana yang berasal dari sejumlah perusahaan di dalam dan luar negeri serta bantuan beasiswa Supersemar, universitas dapat mengatasi sebagian persoalan mahasiswa yang DO sebagai akibat krisis.

Memang cara pak Machfoedz memenej keuangan dalam kondisi dana pemerintah untuk biaya operasional universitas yang sangat cekak, kelihaian pak Machfoedz luar biasa. Selama masa kerektoran kami, sejumlah infrastruktur yang mendesak untuk pendidikan bisa diselesaikan dengan baik, seperti merenovasi sebagian gedung Fakultas Hukum, memperbaiki peralatan lab. Fak. MIPA dan Fak.Tehnik, merenovasi gedung Gelanggang Mahasiswa, membangun Medical Center mahasiswa, memperluas kantor Koperasi Mahasiswa, memvitalisasi Radio Gadjah Mada dan banyak lagi yang berkaitan dengan usaha meningkatkan iklim akademik mahasiswa.

Beberapa kali Pak Machfoedz dan saya menghadiri acara kerjasama dengan universitas di luar negeri. Satu ketika kami bertiga pak Machfoedz, pak Zaki dan saya menandatangani kerjasama exchange students antara UGM dan University of Kentucky. Setelah perjalanan yang sangat melelahkan berpuluh jam di pesawat, dalam keadaan udara bersalju, kami langsung sewa mobil menuju tujuan. Tentu saja yang nyopir adalah pak Zaki dan pak Machfoedz secara bergantian, dan saya tidur nyenyak di kursi belakang karena semalaman tidak bisa tidur di pesawat. Begitu nyenyaknya saya tidur berjam-jam di mobil sehingga meresahkan yang di depan dan menanyakan tentang kesehatan saya. Ini menyangkut tanggung jawab kalau sampai terjadi terjadi apa-apa pada Rektor.

Umroh bersama istri menunjukkan kedekatan saya dengan pak Machfoedz. Kebetulan Konjen di Jedah pada waktu itu, Drs. Wahied adalah mantan mahasiswa saya di Fisipol. Berkat surat undangan dan rekomendasi beliaulah kami bisa dapat visa umroh walaupun sebenarnya pada masa itu ada larangan berumroh berhubung waktunya terlalu dekat dengan musim haji. Setelah Umroh kami singgah di Cairo untuk meninjau beberapa bangunan masjid yang bisa dijadikan bandingan dengan masjid UGM yang sedang dibangun. Tentu kami juga mengunjungi tempat wisata di komplek piramid. Di sinilah tanggungjawab Prof Dr Mas’ud Machfoedz terlihat. Saya termasuk yang memiliki hobi mengetahui sejarah peradaban. Oleh karena itu keingintahuan saya atas isi piramid sangat besar. Untuk bisa masuk ke bagian dalam yang terletak di bawah dasar piramid harus melewati lorong ke kedalaman sekitar 20 meter dengan jalan membongkok karena lorong itu sangat rendah terutama untuk orang tinggi. Di ruangan bawah adalah tempat mummi yang pada saat itu mumminya sudah dipindahkan ke musium. Sekembalinya ke ruang terbuka, di atas pak Machfoedz mengeluh pada istrinya dan pada istri saya yang tidak ikut masuk: “Inilah susahnya kalau punya Rektor yang punya hobi pada bangunan antik.”

Tak akan ada habisnya bila harus diceritakan semua kebersamaan saya dengan pak Machfoedz, namun satu hal yang tidak bisa saya lupakan yaitu tentang kelihaiannya dalam mengumpulkan dan sekaligus memenej dana pembangunan Masjid Kampus. Sebagai bendahara pembangunan Masjid Kampus, pak Machfoedz dapat memisahkan dengan baik dana pembangunan masjid dengan keuangan universitas sehingga tidak tercampur satu sama lain.

Selamat jalan pak Machfoedz, semoga chusnul chotimah di sisi-Nya. Biarkan kami semua mewarisi semua kenangan manis dan indah yang ditinggalkan.

Yogyakarta, 13 April 2010

Ichlasul Amal
(Rektor UGM 1998-2002)

Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz, M.B.A., Ak.: “Penyindir” yang Menfasilitasi

Almarhum Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz, M.B.A., Ak. adalah senior saya sebagai dosen di Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada. Saya mempunyai kesan yang sangat mendalam terhadap beliau karena kemampuan akademik, kesahajaan, kesabaran, kebapakan, dan kepedulian almarhum terhadap saya dan kolega lainnya.

Sewaktu saya menjadi dosen muda, almarhum pak Mas’ud sebagai senior dengan cara yang bersahaja selalu memberikan bimbingan dan dorongan agar saya dapat mengembangkan kemampuan akademik dengan melanjutkan sekolah ke luar negeri. Saya sangat terkesan dengan cara beliau memotivasi saya pada saat saya menghadapi keraguan untuk melanjutkan studi program doktor di Amerika Serikat.

Apa kata beliau?

“Dhik Pri, orasah kawatir, wisto, nek Mas’ud we iso ngrampungke re sekolah doktor, sopo wae dosen Ekonomi UGM iki yo mesti iso. Teman-teman di Ekonomi UGM ki kabeh luwih pinter timbang Mas’ud. Wis segera siapkan dan berangkat, tak dukung dan tak bantu apa yang saya bisa”

Begitu yang beliau sampaikan dengan gaya yang bersahaja, tetapi dapat memicu semangat dan menghilangkan keraguan saya. Almarhum pak Mas’ud ternyata sangat konsisten dengan apa yang pernah beliau sampaikan. Beliau sempat mengunjungi saya ketika saya sedang sekolah di Amerika Serikat dan mengajarkan “kiat-kiat” beliau untuk sukses studi dan membantu memfasilitasi pencarian data untuk penelitian yang saya lakukan.

Selain itu, mungkin karena pak Mas’ud juga pernah merasakan dan belum lupa dengan kondisi penghasilan dosen muda yang masih pas-pasan, dengan gaya “mengejek” beliau selalu “menyindir” untuk mengingatkan agar saya juga rajin bekerja untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Saya senang kalau “diejek” dan “disindir” beliau karena ternyata pasti akan diberi “proyek” pekerjaan, berarti tambahan penghasilan. Suatu saat beliau pernah menyampaikan begini: “Aku ki mesakne nemen je nek ndelok dosen-dosen anyar koyok dhik Pri kuwi, lakok ming ono udan wae dho bingung ora iso lungo, mesake nemen isih tergantung karo cuaca,” kemudian beliau tertawa renyah dan bilang “wis sesuk dhik Pri mbiantu aku nandangi gawean iki, ben trus iso tuku mobil, ora tergantung cuaca meneh.”

Begitu cara almarhum pak Mas’ud dengan sungguh-sungguh dan ikhlas memperhatikan saya dan juga adik-adik kolega lainnya.

Itulah kesan saya yang sangat mendalam terhadap almarhum Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz, M.B.A., Akt. Banyak sekali budi baik yang telah beliau berikan ke saya selama karier saya di FEB UGM ini. Selamat jalan pak Mas’ud, saya do’akan semoga almarhum pak Mas’ud husnul khatimah, diterima semua amal ibadah beliau dan diampuni semua dosa-dosanya, serta keluarga yang ditinggalkan selalu mendapatkan kesabaran, keikhlasan, dan limpahan berkah dan rahmat dari Allah s.w.t. Amin.

Dr. Supriyadi, M.Sc.

(Pengelola Program M.Si dan Doktor FEB UGM)

Hidup Ingin Selalu Berbagi

Bagi saya tidak ada hal yang paling membahagiakan selain bekerjasama dengan seseorang yang memiliki personalitas yang sangat baik. Sebagai teman dan kolega, Prof Masud Machfoedz memberikan tauladan yang sangat baik sebagai seorang dosen di FEB. Beliau adalah aset berharga yang dimiliki FEB UGM. Pemikiran-pemikiran beliau dalam mengembangkan pendidikan bidang ekonomi, khususnya akuntansi di FEB UGM sangat cerdas. Beliau seorang dosen yang memiliki banyak talenta dan seorang dosen yang berkarakter. Dalam kehidupan akademis, Prof. Mas’ud sangat senang bekerjasama dengan orang lain, dan beliau selalu menekankan trust (kepercayaan) yang tinggi terhadap orang lain ketika bekerjasama. Tanpa saling percaya tidak ada kemajuan dalam organisasi. Kepercayaan yang diberikan Prof. Masud membuat seseorang menjadi bertanggung jawab atas pemikiran, ucapan, dan tindakannya. Kepercayaan mendorong proses belajar dalam diri seseorang. 

Dalam keadaan susah beliau memiliki kemampuan dan cara tersendiri untuk memecah kebuntuan suasana. Ada saja guyonan beliau yang renyah membuat orang lupa jika sedang ada masalah besar. Terkadang masalah yang gampang menjadi sulit karena dipikirkan terlalu rumit. Beliau selalu berpikir sederhana dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi organisasi. Beliau selalu berusaha memberdayakan sumber daya manusia yang dimiliki FEB UGM. Kesuksesan dan kemajuan sebuah organisasi tidak ditentukan oleh kemampuan satu orang saja, namun oleh semua anggota organisasi yang dengan tulus dan ikhlas memberikan kontribusi positif bagi FEB UGM. Salah satu karakter beliau yang sangat tampak adalah senyumannya dan kehangatan yang ditunjukkan pada setiap perjumpaan dengan orang lain. Beliau adalah seroang yang selalu ramai dan selalu memiliki ide untuk mendobrak kebuntuan dan kebekuan dalam suatu pertemuan. Selain itu beliau adalah seorang pekerja keras yang tangguh dan gigih. Beliau adalah orang yang sangat mudah membaca dan memahami keadaan orang lain. Keterbukaan adalah sifat beliau. Ketika kita memiliki masalah beliau berusaha mengangkat kita dan memberikan jalan keluar terbaik. Hal-hal ini membuat banyak pihak yang senang. Membuat senang sebagian besar orang adalah tujuan hidup beliau. 

Beliau selalu mengajak dan memberdayakan semua pihak di FEB UGM untuk memberikan kontribusi sesuai kemampuan masing-masing kepada FEB UGM. Prof. Masud juga tidak pernah kikir untuk berbagi ilmu pengetahuan dengan sesama dosen. Beliau selalu menyampaikan informasi terkini, baik itu pemikiran belaiu, buku-buku baru, maupun artikel-artikel baru yang beliau temukan. Beliau selalu menawarkan pemikiran-pemikiran baru secara akademis. Hal ini disebabkan karena beliau memiliki pemahaman yang dalam mengenai nilai-nilai kehidupan. Beliau memiliki sifat sabar yang sangat tinggi. Kesabaran akan ketidakmampuan orang lain akan memunculkan pemikiran kreatif agar orang lain juga bisa diajak untuk maju dan berkembang. 

Dari pemahaman tersebut timbullah pengertian tentang nilai kehidupan yang seharusnya diterapkan sebagai keutamaan manusia. Hal ini ditunjukkan dengan sikap beliau yang menjauhkan dirinya dari sikap diskriminatif terhadap orang lain. Beliau tidak membedakan setiap orang. Semua diberi kesempatan yang sama. Beliau tidak melihat siapa kita, tetapi yang penting bagi beliau adalah kontribusi positif apa yang bisa kita sumbangkan kepada FEB UGM sebagai dosen. Kesuksesan FEB UGM harus merupakan tanggung jawab dan kesuksesan bersama semua anggota organisasi.

Akhirnya saya menyampaikan: “Selamat jalan Prof. Mas'ud”, saya mendoakan agar Bapak mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Amin. 

Prof. Dr. Jogiyanto Hartono, M.B.A., Ak.

(Kolega, Ketua Program Magister Akuntansi FEB UGM)

Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz, M.B.A, Ak.,: Dosen, Kolega, Pembimbing, dan “Kyai” ku

Assalamu’alaikum wr.wb.,
Bismillahi arrohmaan arrohiim.
Alhamdulillah dipanjatkan pada Rabbul Izzati, dan dengan tidak lupa menyampaikan sholawat serta salam pada Rasul, Muhammada s.aw., saya diberi kesempatan untuk memberikan testimony pada momentum mengenang Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz, M.B.A., Akt. yang lebih akrab dipanggil Pak Mas’ud. Kesempatan ini merupakan hal yang sangat berharga bagi saya, karena inilah kesempatan untuk saya mengungkapkan kesaksian saya bahwa Pak Mas’ud adalah seorang dosenku, kolegaku, pembimbingku, dan juga kyai ku.

Pak Mas’ud Dosenku

Saya mengenal beliau sebagai seorang dosen Fakultas Ekonomi (sekarang Fakultas Ekonomika dan Bisnis) Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1978 ketika waktu itu saya menjadi mahasiswa FE UGM. Saya kenal beliau sebagai dosen pada saat itu, dan tentu saja beliau belum kenal saya sebagai seorang mahasiswa, karena memang selama saya kuliah dalam kurun waktu tahun 1978-1983 tidak pernah dapat kelas atau dapat mata kuliah yang beliau ampu. Namun ketenaran beliau sebagai dosen yang baik, pintar, humoris sudah sangat dikenal. Hal itulah yang membuat saya, walaupun dalam kurun waktu tersebut tidak pernah kuliah beliau, dengan bangganya mengatakan kepada pihak luar FE UGM bahwa beliau adalah dosenku. 

Skenario Allah swt memang Maha Hebat, kurang lebih 20 tahun kemudian, beliau memang betul-betul menjadi dosenku saat saya menempuh program S3 di FE UGM dengan sandwich di University of Kentucky. Di situlah saya betul-betul yakin bahwa Pak Mas’ud seorang dosen yang baik, pintar, dan humoris. “Baik” pada umumnya dimata mahasiswa diartikan kalau ngajarnya enak, nilainya tidak pelit. Itulah beliau. 

Beliau pintar (cerdas) sudah tentu tidak diragukan. Tidak terlalu banyak orang bisa lulus program doktor di University of Kentucky di jaman beliau bisa selesai dalam waktu yang relatif singkat, dan hal ini tidak berarti hanya “cepat” nya beliau lulus menjadikan ukuran pintarnya beliau. Hal-hal lain tentang ke-“smart” atau “clever”-an beliau agak sulit diungkapkan dengan kata-kata. Semua muridnya sepanjang yang saya tahu mengatakan bahwa Pak Mas’ud memang pintar.

Dalam hal mengajar, tidak sedikit mungkin kita berjumpa dengan dosen yang pintar, tapi agak kaku, membuat kuliah kita mengantuk, tidak menarik, dan sebagainya. Untuk Pak Mas’ud hal itu tidak terjadi. Beliau mengajar dengan penuh percaya diri. Murid atau mahasiswanya terpesona dengan ilmu pengetahuannya, dan mengikuti kuliah beliau pasti deh tidak mengantuk karena beliau memang humoris. Joke-joke yang menyelingi perkuliahan membuat segarnya para mahasiswanya.

Pak Mas’ud Kolegaku

Allah memang Maha berkehendak. Setelah saya lulus dari FE-UGM tahun 1983, saya ditakdirkan menjadi staf dosen di fakultas ekonomi UGM tercinta. Otomatislah saya menjadi kolega beliau di fakultas. Karena memang Pak Mas’ud orangnya ramah dan supel dalam pergaulan maka saya sebagai yuniornya di fakultas dengan mudahnya menjadi akrab, dan tentu mudah minta bimbingan dan arahan bagaimana menjadi dosen yang baik, yaahh mau mengikuti jejak beliau-lah. 

Diakui, Pak Mas’ud orangnya sibuk, kreatif, dan mandiri. Saat itu hampir semua dosen mengajar di samping di fakultas juga di luar fakultas yakni di PTS-PTS di seantero Jogjakarta. Tentu beliau termasuk juga yang mengajar “diluar” tersebut. Beliau tentu kreatif, karena melihat “pasar” sehingga banyak buku karya beliau bermunculan sebagai pencerminan kreatifitas beliau yang saya maksud. Selain itu, beliau juga “melihat” kalau para dosen hanya “mengajar” di tempat “orang lain,” bisa-bisa satu saat di PHK. Kemandirian beliau pun muncul, beliau mendirikan dengan beberapa kolega beliau sebuah Perguruan Tinggi yang saat itu bernama AMA (Akademi dan Marketing dan Akuntansi). AMA itulah cikal bakal STIE WW (Sekolah Tinggi Ekonomi Widya Wiwaha) yang masih eksis sampai saat ini. Disitulah pula saya merasa betul-betul menjadi kolega beliau karena saya pun diminta beliau untuk menjadi staf pengajar yang tentu dapat menambah kesejahteraan saya sekeluarga. Saya pun pernah diminta beliau berperan sebagai “Ketua Jurusan Akuntansi bayangan” untuk STIE WW. Saat itu pula yang saya akan selalu ingat karena beliau meminta dan mengajari saya menggunakan dasi, yang ini sungguh saya rasakan peran beliau sebagai kolega. Artinya, saat itu beliau sebagai kolega, mengajari saya banyak hal dalam menghadapi liku-liku kehidupan. 

Pak Mas’ud Pembimbingku

Perjalanan hidup memang penuh misteri. Saya ditakdirkan menjadi mahasiswa S3 di Pascasarjana UGM dengan program sandwich di University of Kentucky. Pembimbing saya tak lain dan tak bukan adalah Pak Mas’ud. Hal ini mungkin takdir dari Allah yang mungkin kalau boleh dikatakan melalui perantaraan Prof Zaki Baridwan yang menugaskan beliau untuk menjadi promotor saya. Barangkali saja Prof Zaki meyakini bahwa Prof. Mas’ud-lah yang cocok jadi pembimbing saya.

Bisa dibayangkan bagaimana Pak Mas’ud membimbing saya. Sebagai kolega beliau telah membimbing banyak masalah dalam kehidupan. Sebagai promotor beliau tentu tahu betul bagaimana membimbing saya agar sukses studi S3–nya, karena beliau tahu betul tentang ABC-nya saya. Saat saya sedang full stress, beliau dapat menenangkan dengan nasehat-nasehat yang yaah diselingi humor-humor kehidupan. Dalam puncak kesibukan beliau sebagai wakil rektor bidang administrasi dan keuangan, selalu saja menyempatkan membimbing saya. Bahkan, saat saya sandwich di University of Kentucky, Pak Mas’ud yang saat itu bersama dengan Pak Rektor Prof. Ichlasul Amal, Prof Zaki Baridwan, dan Prof Marwan berkesempatan mengunjungi saya dan beberapa teman lain. Beliau juga memotivasi saya agar tidak patah semangat. Itulah Pak Mas’ud yang kalau saya tidak salah merupakan pembimbing atau promotor yang selalu bertekad untuk kesuksesan terbimbingnya sejak beliau pertama kali menjadi promotor, karena saya salah satu terbimbing pertama beliau di awal-awal menjadi promotor.

Pak Mas’ud “kyai”ku

Mohon maaf jika saya salah mengingat dan menuturkan kembali kata-kata beliau pada saya dan mungkin juga pada yang lain. “Pak Halim, kalau di Muhammadiyah, banyak yang jadi pimpinannya bergelar Professor. Di Nahdhatul Ulama (NU), perlu juga dong pimpinannya yang bergelar Professor, tidak hanya Kyai.” Itu beliau sampaikan ke saya saat beliau diajak oleh Kyai Hasyim Muzadi untuk ikut mengelola NU. Dari itu, maka jadilah Pak Mas’ud seorang dosen yang professor yang berfungsi juga sebagai “Kyai.”

Saya sebagai murid, yang sering beliau panggil adik, boleh juga meyakinkan bahwa Pak Mas’ud memang seorang “kyai.” Beliau tentu bisa jadi khotib. Tulisan beliau di kolom Ramadhan di Harian Kedaulatan Rakyat (KR) Jogjakarta, tidak kalah dengan “kyai” NU sesungguhnya. Saya sering tersenyum dan kagum tentunya kalau membaca tulisan tentang ilmu agama di KR.
Di atas segalanya tentang ke “kyai”-an beliau, perkenankan saya menyampaikan untuk kesekian kalinya tentang Skenario Allah, bahwa saya berangkat Haji satu rombongan dengan beliau pada tahun 1995. Di padang Arofah saya berdo’a bersama “kyai” saya tersebut. Kami menangis bersama karena mengakui kelemahan sebagai manusia, dan memohon ampunan dari ALLAH yang memiliki dan menguasai segalanya.

Pak Mas’ud, beliau sangat sibuk, apalagi dengan tambahan jabatan ketua PWNU Jogjakarta yang sering diajak keliling-keliling Indonesia dan Dunia, sehingga saya agak jarang berjumpa, kalaupun berjumpa bahkan yang terakhir, umumnya jumpa di Bandara Cengkareng, dan tak lupa beliau tanya tentang perkuliahan dan kesehatan. Allahu Akbar, beberapa tahun kemudian setelah satu rombongan Haji, tanpa saling mengetahui dan menginformasikan karena kesibukan masing-masing, saya berjumpa Pak Mas’ud di depan Ka’bah saat Umrah. Kembali kami berdo’a bersama. Kami minta yang terbaik dari Allah swt untuk jalani kehidupan. Tampaknya salah satu yang terbaik bagi beliau dari Allah swt adalah beliau dipanggil “segera” menghadap NYA dalam usia 55 tahun.

Selamat jalan dosenku, kolegaku, pembimbingku, dan juga “kyai” ku. Setahun sudah berlalu menghadap-NYA. Insya Allah amal jariyah, khususnya lagi ilmu yang bermanfaat dari Pak Mas’ud, menemani dengan setia di alam kubur dan di Jannah yang kekal dan abadi. Insya Allah. Amien.

Jogjakarta, Akhir Rabi’ul Awal 1430 H

Wassamu’alaikum wr.wb.

Prof. Dr. Abdul Halim, M.B.A., Ak.
(Dosen FEB UGM dan Direktur Keuangan Pasca)


Hidup Belajar Kekal (Untuk Kenangan Bersama Prof. Mas’ud Machfoedz)

karena dinding kelas adalah kisah 
perjalanan yang mengasyikkan 
mata dan ingatan anak itu 
tawa dan kebijaksanaan
melambai dan berjanji
akan pertemuan kembali. 

fajar atau senja 
di balairung terakhir 
selarik doa terbisik
mati adalah akhir semua resah 
segalanya kau miliki sekarang
untuk kau pamerkan padaku
dan sekeping tetenger atasmu
hening dalam keramaian
setahuku kau melintas cepat
tetapi hidupmu untuk belajar kekal

 

Kontak pertama saya dengan Pak Mas’ud terjadi pada bulan Januari 1987. Seorang pria muda dengan dandanan rapi, rambut ikal, dan wajah cerah menyapa kelas kami dengan senyum lebar. Lalu, minggu demi minggu berlalu dengan tawa riang di kelas sambil belajar akuntansi pengantar. Pelajaran yang semestinya membosankan dan membuat bingung kami lalap dengan atensi penuh setiap pria tersebut mengajar. Pak Mas’ud memang jagoan dalam mengelola khalayak. Learning is fun dengannya.

Kepiawaian Pak Mas’ud menyihir lawan bicara termasuk kategori kaliber besar. Pelafalan kata yang khas, disertai dengan bahasa tubuh yang pas, senantiasa mengundang perhatian orang untuk selalu mendengarkan kalimat-kalimat yang dia ucapkan. Humornya pun selalu tepat waktu dan suasana. Saya belum pernah bertemu dengan orang yang mempunyai kesan kurang baik tentang cara Pak Mas’ud berkomunikasi. Semua kalangan dengan pelbagai tingkat pendidikan, dari orang biasa sampai mahasiswa pascasarjana, saya yakin, menikmati betul cara Pak Mas’ud merangkai materi pembicaraan. Kata-kata yang lugas dibumbui dengan lelucon yang menggelitik menjadikan Pak Mas’ud seorang master komunikator.

Saya mengenal Pak Mas’ud lebih mendalam selama srawung kami di Lexington, Kentucky. Berdua dengan almarhum Mas Nur Indriantoro, pria ramping itu menjemput saya dan Ida, istri saya, di lapangan terbang Blue Grass. Malam itu, kami menginap di apartemen keluarga Pak Mas’ud. Sebetulnya kami sudah beroleh tempat tinggal saat itu. Namun, Pak Mas’ud bilang kami harus mencicipi kalkun panggang masakan Mbak Umi. Kami tidur di kamar Pak Mas’ud dan Mbak Umi. Sementara mereka berdua mengalah dan berdesakan dengan ketiga putra-putri mereka di kamar sebelah.

Esoknya, ada sesi belanja. Pak Mas’ud mengantar kami berdua membeli perlengkapan rumah tangga. Pak Mas’ud tidak hanya mengantar, tetapi bertindak bagaikan shopping advisor. Walhasil, kami menghabiskan ratusan dollar untuk aneka barang yang sebagian tidak kami butuhkan: selimut listrik, pelembab ruangan, dan tirai kamar mandi. Belakangan kami tahu bahwa mahasiswa yang datang ke Lexington biasanya tidak perlu membeli barang-barang baru. Selalu ada stok barang warisan teman yang sudah pulang ke Indonesia. Rupanya terjadi kekeliruan persepsi Pak Mas’ud atas kondisi perekonomian kami. Ketika saya “menuntut pertanggungjawaban” Pak Mas’ud, tawa berderai-derai hasilnya. “Beredar kabar kamu ini orang kaya, Er. Makanya saya tak berani menawarkan barang-barang bekas pada kalian.” Pak Mas’ud kemudian mengantarkan kami untuk mengembalikan segenap barang tersebut ke toko.

Selamatlah persediaan uang kami.

Selama setahun itu saya mengamati bagaimana Pak Mas’ud menghargai tamunya dan temannya. Tempat tinggal keluarga Pak Mas’ud selalu menjadi ruang rapat persiapan dan eksekusi penyambutan tamu yang berasal dari tanah air. Selalu ada acara yang hangat. Ada suasana kekeluargaan yang menghapus rasa sedih karena jauh dari kerabat.
Penghargaan Pak Mas’ud kepada teman acapkali berwujud spontanitas tak terduga. Suatu tengah malam pintu apartemen kami diketuk orang. Bergegas saya melihatnya. Pak Mas’ud berdiri di luar dalam dingin udara musim gugur. “Er, ikut saya ya. Ada barang yang harus kita angkat.” Berdua kami berkendara ke suatu pusat pertokoan yang, tentu saja, sudah sunyi. Rupanya Pak Mas’ud melihat ada sofa bekas pakai tetapi masih bagus yang ditinggalkan pemiliknya di sana. Kemudian kami memindahkan sofa berat tersebut ke apartemen seorang kawan yang baru tiba dari Indonesia. Sungguh, malam itu saya melihat sorot mata puas di wajah Pak Mas’ud.

Pak Mas’ud adalah seorang pekerja keras. Durasi dua tahun sepuluh bulan untuk menempuh program doktoral di universitas kami mungkin adalah sebuah rekor yang sulit disamai. Disertasi Pak Mas’ud dikerjakan dengan semangat luar biasa. Boleh dikatakan pagi hari didiskusikan dengan promotor, sore hari naskah revisian sudah Pak Mas’ud kirimkan kembali ke pembimbing. Ketika saya menemani Pak Mas’ud pada hari ujian disertasinya, saya memohon kepada Profesor Keller, pembimbing utama Pak Mas’ud. “Please have mercy and be easy on him,” kata saya. Profesor Keller menukas cepat sambil tersenyum lebar dan menunjuk Pak Mas’ud. “You should not worry about him. Ask him to have mercy on us.” Beberapa tahun kemudian, tatkala saya berkesempatan menempuh pendidikan S3 di tempat yang sama, Profesor Keller selalu menanyakan kabar Pak Mas’ud. Dalam nian kesan Pak Mas’ud di benak Pak Keller. 

Maha suci Allah dengan segala ciptaan-Nya. Semua pujian hanyalah bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. Testimoni ini bukan saya persembahkan untuk Pak Mas’ud. Dia tidak membutuhkannya. Kenangan ini saya tulis untuk kepentingan kita. Kita yang telah merasakan kehadiran Pak Mas’ud dahulu. Kita yang mempunyai ingatan yang membekas. Kita yang memerlukan kehadiran Pak Mas’ud dalam memori dan doa.

Saya bersyukur mengenal seorang Mas’ud Machfoedz. Saya merayakan kenangan atasnya kini dan nanti. Saya berdoa dan yakin Pak Mas’ud telah menempuh hidup baru yang lebih indah. Saya mengingat dia dalam cinta, karena waktu akan berjalan selamanya.

Dr. Ertambang Nahartyo, M.B.A., Ak.
(Kolega, Pengelola Program MEP FEB UGM)


Mas’oed Machfoedz: Komitmen Ke-Nu-an Paripurna

Mengawali testimoni ini, saya ingin menukil salah satu alinea ucapan terima kasih yang termaktub dalam naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar saya berikut: ”Dihaturkan juga terima kasih kepada para Pimpinan, Kyai, Nyai, Alim-Ulama dan aktifis NU, Banom-Lembaga-Lajnah, struktural-kultural, yang 30 Januari 2008 ini merayakan Harlah NU ke-82, atas kerjasamanya dalam urusan peningkatan mutu keberagamaan dan kesejahteraan. Kepada KH.Asyhari Marzuki (alm), KH Asyhari Abta, Prof.Mas’oed Machfoedz, KHA.Malik Madani, KH Masdar F.M, Gus Mus, dsb, yang telah mendidik saya ‘menjadi’ seorang nahdliyyin, diucapkan syukron jazilan”. 

Dalam kesempatan sangat formal tersebut ungkapan terima kasih itupun masih saya tekankan pula dengan ucapan yang agak berkelakar akan tetapi sungguh memiliki kedalaman ketulusan dan kejujuran sbb.: ”Secara khusus kepada Prof. Mas’oed Machfoedz saya sampaikan ucapan terima kasih tiada terhingga, karena atas prakarsanya, saya kemudian memperoleh kesempatan untuk bertobat dan kembali ke habitat, Nahdlatul Ulama”.

Tidak mengada-ada, meski hadlirin Rapat Senat Terbuka UGM ketika itu menyambut riuh dengan ketawa. Itulah intisari testimoni saya terhadap Almarhum. Pergaulan dengan Almarhum yang teramat formal dan terbatas dalam lingkungan kampus UGM kemudian menjadi sangat cair dan mengesankan sejak saat itu, 2001, ketika secara resmi saya dipercaya membantu Almaghfurlah sebagai seorang Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Propinsi DIY periode 2001-2006 dan 2006-2011. 

Kepercayaan ini sungguh bukan main bagi saya, teramat inspiring bagi seorang warga jelata Nahdliyin yang telah hilang dan tidak pernah menjadi anggota IPNU, GP Ansor, dan Pengurus NU pada tingkat manapun, tiba-tiba saja harus kembali ke habitat dengan jabatan Wakil Ketua PWNU. Inipun berlanjut dengan khidmat perjalanan yang harus menggantikan sebagai Pejabat Ketua sepeninggal Beliau dan kemudian dilanjutkan lagi dengan penunjukan Rais Am dan Ketua Umum PBNU 2010-2015 kepada saya hari-hari ini untuk menjadi salah satu Ketua PBNU. Semua itu adalah jejak kebesaran Almarhum.

Khidmad paripurna untuk hidup sebagai Pimpinan NU telah Beliau ajarkan dengan jiwa-raga dan hartanya secara ikhlas sebagai terjemahan paripurna dari Firman Allah SWT bagi setiap muslim untuk senantiasa berjuang di jalan Allah dengan keluarga, harta dan jiwa-raga: bi amwaalihim wa anfusihim, meski senantiasa Beliau jalankan dengan sangat sederhana, tanpa riya’ dan kesombongan, dan tidak pernah muluk-muluk. 

Satu hal yang menarik dari kesederhanaan tersebut adalah intisari program kerja yang beliau kerucutkan dalam tiga sisi besar kebutuhan dasar, the real need, pada tingkat jama’ah NU, meliputi: pengembangan pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Untuk keperluan peningkatan pelayanan NU kepada jama’ah mutlak diperlukan benah organisasi yang profesional dalam pelayanan publik. 

Konsekuensi profesionalitas itulah yang kemudian diterjemahkannya bagi PWNU-DIY dalam berbagai perspektif. Pertama, pada tingkat politik, PWNU-DIY telah menempatkan dirinya pada maqam yang sangat strategis dalam jajaran PWNU se Indonesia. Netralitas NU dari politik praktis telah dipertontonkan PWNU-DIY dengan sangat anggun dan tidak bisa ditawar. Netralitas ini merupakan landasan kokoh bagi proteksi diri PWNU-DIY dari penyakit Orsos pada umumnya, yaitu privatisasi, komersialisas dan politisasi. Sikap netral dan kesamaan kedekatan terhadap kepentingan politik praktis dan kepentingan apapun tegas sekali dipertahankan dan dilanjutkan oleh PWNU-DIY. Ketegasan ini nampak semakin nyata semenjak Pemilu dan Pilpres 2004.

Ke-dua, pada tingkat kaderisasi, profesionalitas tersebut menjadi landasan PWNU untuk menyapa warga lebih intensif, terutama kader-kader muda dan aktor strategis NU yang berada di pesantren, perguruan tinggi, birokrasi, jalur politik, dan sebagainya. Relasi Jam’iyah-Jama’ah yang terasa semakin kering lambat laun mulai terehabilitasi melalui kepemimpinan Almarhum. Hal ini teramat terasakan terutama terhadap kelompok Nahdliyin yang kesehariannya sibuk dengan urusan profesi dan pendidikan tinggi. Semakin banyak Mahasiswa, Dosen dan Birokrat yang merasa bangga menampakkan identitasnya sebagai NU dalam masa kepemimpinan Almarhum.

Ke-tiga, dalam perspektif manajemen kelembagaan PWNU-DIY, profesionalitas operasional telah dibangun Almarhum dengan sangat sempurna. Dalam kesibukannya di UGM dan beberapa jabatan di Jakarta, perjalanan PWNU-DIY tidak pernah ketinggalan ketika dibandingkan dengan sesama PWNU di Indonesia, kendati kepemimpinannya sering dijalankan dalam jarak jauh, in absentia. Padahal kehebatan dan kesibukan itupun masih harus dibebani juga dengan kesibukan tambahan Almarhum sebagai tenaga ahli Ketua Umum PBNU dalam urusan hubungan luar negeri.

Ke-empat, kepemimpinan dalam dua periode kepengurusan, 2001-2006 dan 2006-2011, sungguh diwarnai oleh bangun landasan silaturrahim antar fungsionaris yang sangat kuat, bahkan sampai pada tingkat keluarga. Dalam hal ini, prinsip Beliau untuk mengedepankan kesamaan daripada perbedaan sangat mewarnai perjalanan PWNU. Hal ini tidak berarti Almarhum tidak akomodatif terhadap warna dan pemikiran berbeda. Beliau sangat akomodatif dan super egaliter. Salah satu yang dicontohkannya dalam ber-NU berkenaan dengan posisi saya. Meski mas Mas’oed sering menyebut saya sebagai oposisi dalam kepengurusan PWNU 2001-2006, Beliau toh tetap bersikeras ’memelihara’ keberadaan saya dalam kepengurusan PWNU 2006-2011.

Ke-lima, kekompakan tim adalah segalanya dalam gerak PWNU-DIY. Atas nama kekompakan gerak kepengurusan inilah, isu-isu kontroversial yang tidak mungkin dipertemukan, tidak pernah Beliau bicarakan lebih jauh karena besarnya potensi pro-kontra internal. Pemikiran tentang penambangan pasir besi di Kulon Progo, pro-kontra privatisasi BUMN, keistimewaan DIY, ekonomi NU dan liberalisme, dan banyak lagi isu, terpaksa dikebumikan untuk menghindari tersendatnya perjalanan PWNU-DIY. Sikap menengah yang diajarkan Almarhum seperti ini sangat tinggi hikmahnya karena sudah bisa dipastikan bahwa pembicaraan akademik untuk perihal tersebut di tingkat PWNU akan menemui jalan buntu karena keragaman keterwakilan stakeholders dalam PWNU.

Terakhir, kontribusi dan komitmen almarhum bi amwalihi wa anfusihi sungguh sangat nyata dan paripurna dalam membangun PWNU-DIY. PWNU-DIY telah menjadi semakin besar dan nyata sekali eksistensinya, bukan sekedar terbatas pada megahnya fisik Gedung PWNU DIY sebagai salah satu waqaf ubudyah Almarhum, tetapi dalam segala citra dan kiprah kelembagaan. Satu hal yang sangat pasti dan berbeda dengan lainnya, komitmen membangun kebesaran PWNU-DIY telah Beliau lakukan dengan tanpa pernah Beliau numpang besar sebagai pimpinan NU. 

Memang itulah sebuah keniscayaan. KETIKA, sebagian fungsionaris NU numpang besar NU, membangun kebesaran diri pribadinya dan melampiaskan syahwat jangka pendeknya melalui kebesaran NU, bahkan terkadang dengan menjual NU berikut jama’ahnya, almarhum Mas’oed Machfoedz almaghfurlah tidak pernah melakukannya. Dalam sudut pandang kalangan Nahdliyin, Mas’oed Machfoedz memang sudah besar dengan komitmen dan pengabdiaannya. Itulah kebesaran yang teramat mulia, sekaligus pencerahan masa depan kejam’iyahan NU, insya Allah. Lahu Al-Fatihah.

Prof. Dr. Mochammad Maksum Machfoedz
(Ketua PWNU-DIY, Ketua PBNU, Guru Besar FTP UGM) 


Untuk Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz, M.B.A., Ak.

Saya menyambut dengan gembira permintaan FORMADEGAMA kepada saya untuk menulis testimoni tentang dedikasi dan loyalitas almarhum Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz, M.B.A. baik sebagai kolega di Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) maupun sebagai sahabat.  

Saya mengenal almarhum sejak masih bersama sama belajar di Fakultas Ekonomi UGM. Sejak masa mahasiswa sampai dengan masa-masa kami mempersiapkan diri untuk belajar ke luar negeri, hubungan pertemanan kami sudah terjalin sangat baik. Almarhum adalah seorang teman yang periang dan selalu siap untuk berbagi informasi maupun pengetahuan apa saja yang beliau miliki. Kebetulan kami mulai berangkat belajar di luar negeri pada waktu yang bersamaan dan selama belajar di luar negeri hubungan persahabatan kami menjadi semakin erat karena seringnya berbagi suka duka di perantauan. Sebagai sesama pengajar di perguruan tinggi, kami sering berdiskusi mengenai berbagai pengalaman yang kami alami selama belajar di luar negeri.

Almarhum selalu mengingatkan akan besarnya tanggung jawab yang kami emban sebagai pendidik. Beliau selalu mengutarakan bahwa pengaruh kami sebagai pendidik tidak saja akan mempengaruhi kehidupan para anak didik, tetapi juga memiliki potensi akan mempengaruhi komunitas atau masyarakat pada umumnya. Tidak mengherankan apabila almarhum selalu membuka pintu terhadap idea atau pemikiran baru dari semua pihak baik mahasiswa maupun kolega.  

Sebagai pendidik dan professional dalam bidang akuntansi, kami juga bersama sama menjadi aktivis di Ikatan Akuntan Indonesia. Di antara banyaknya kesibukan yang dimiliki, almarhum memberikan perhatian dan komitmen yang sangat tinggi kepada organisasi profesi. Beliau selalu menyediakan waktu dan tampil dalam semua kegiatan dan forum dengan penuh keceriaan. Keceriaan dan kejenakaan beliau selalu mewarnai setiap pertemuan yang beliau hadiri. Almarhum dapat dengan mudah berteman dengan siapa saja. Semua teman yang mengenal almarhum akan mengingat bagaimana pengaruh beliau sebagai seorang sahabat.

Saya merasa sangat menghargai kesempatan untuk mengenang almarhum sebagai seorang sahabat dan kolega. Profesi akuntansi Indonesia kehilangan seorang pemikir yang berdedikasi dan loyalitas tinggi, perguruan tinggi akuntansi kehilangan seorang professor andalan dan kita semua kehilangan seorang sahabat dekat.


Prof. Dr. Djoko Susanto, M.S.A., Ak.
(Anggota Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Akuntan Indonesia; Sahabat, dan Kolega IAI) 

Prof. Mas’ud: Ilmuwan Sejati yang Amanah

Saya mengenal Prof. Mas'ud sejak saya mendapat amanah sebagai Direktur Utama Bank BTN pada tanggal 25 Mei 2000, karena beliau sebagai salah satu Komisaris Bank BTN. Bahkan beliau masih tetap menjabat sebagai Komisaris Bank BTN setelah saya selesai menunaikan amanah di Bank BTN pada tanggal 02 Januari 2008. 

Selama kurun waktu tersebut kesan saya terhadap beliau antara lain sbb.:

1. Menurut pendapat saya Beliau adalah seorang ilmuwan sejati, yang setiap membahas sesuatu hal selalu didasarkan kepada ilmu yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Hal ini mendorong kami yang mendapat amanah untuk mengelola Bank BTN selalu berupaya untuk bertindak secara governance supaya selalu tertib.

2. Prof. Mas’ud adalah pekerja keras sebagai konsekuensi dari rasa tanggung jawabnya yang tinggi.

3. Solidaritas beliau juga sangat tinggi sebagai pengamalan silaturahim dengan kerabat, sahabat dan koleganya. Saya sangat terkesan sewaktu ibu mertua saya berpulang ke Rahmatullah di desa Klegen yang terletak di kaki gunung Sumbing beliau adalah satu-satunya pejabat Bank BTN yang hadir. Demikian pula sewaktu kami bertugas belajar bersama ke Philadelphia beliau menyempatkan diri untuk menengok anak saya ke tempat tinggalnya.

4. Komitmen Prof. Mas’ud sangat tinggi. Hal ini terbukti dari banyaknya penugasan yang beliau jalani di banyak lembaga baik lembaga BUMN, lembaga sosial keagamaan dll, padahal sebagai seorang guru besar di UGM pastilah beliau telah banyak tugas yang harus beliau selesaikan. Mengenai hal ini pernah suatu ketika beliau saya ingatkan supaya jangan seperti “kitiran” yang setiap saat terus berputar tanpa mengenal lelah, tetapi supaya menyesuaikan dengan kemampuan phisik kita, diperlukan istirahat, rekreasi dsb. Saya bersyukur pada saat-saat terakhir beliau sempat bermain golf. Namun rupanya sudah terlambat karena keburu diserang penyakit.

5. Prof. Mas’ud adalah seorang Muslim yang taat menunaikan ajaran agamanya secara ikhlas antara lain terbukti dengan hal-hal tersebut dalam butir 1 s/d 4 di atas.

Semoga hal-hal tsb di atas dapat menjadi suri tauladan bagi kita semua terutama di lingkungan keluarga dan para anak didik beliau supaya dapat menjadi amalan beliau yang menjadi sarana untuk mendapat rahmat dari Allah SWT, sehingga beliau mendapat tempat yang terhormat di alam barzah dan pada akhirnya sebagai penghuni surga.

Kemudian kepada keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan lahir dan batin, ketabahan, kesabaran dan keikhlasan untuk dapat terus melanjutkan perjuangan dan cita-cita beliau.
Meskipun kami semua di Bank BTN telah berusaha sekuat tenaga agar Prof. Mas’ud dapat memperoleh penyembuhan, namun rupanya Allah SWT berkehendak lain. Beberapa kali kami sempat menjenguk beliau sewaktu beliau dalam perawatan, namun pada kesempatan menjenguk yang terakhir kali saya dan isteri saya tidak dapat bertemu beliau lagi karena beliau sudah berada di ruang yang steril.

Suatu penyesalan saya dan keluarga saya adalah karena sewaktu beliau dipanggil untuk pulang ke Rahmatullah kami tidak sempat turut “lelayu” ke Jogja karena kami sedang menunggu ibu saya yang sedang sakit keras di Bandar Lampung yang akhirnya juga dipanggil untuk berpulang ke Rahmatullah hanya selang beberapa jam setelah Prof. Mas’ud, karena ibu saya wafat tepat pada hari Sabtu tanggal 27 Desember 2008 pukul 00.03. Kami semua merasa kehilangan dengan kepulangan Prof. Mas’ud ke haribaan Allah SWT. Selamat jalan Prof, selamat beristirahat panjang dengan tenang dan damai, kami semua berdoa untuk keselamatan Prof. Mas’ud.

Testimoni ini saya tulis mulai dari dalam perjalanan Manado ke Gorontalo pada tanggal 18 April 2010 untuk memenuhi permintaan Panitia dengan sms pada hari Ahad tersebut. Sedangkan permintaan Panitia secara tertulis dengan surat belum saya lihat karena saya sudah berangkat ke Manado pada hari Senin tanggal 05 April 2010.

Gorontalo, 18 April 2010

Drs. Kodradi
(Kolega, Dirut BTN 2000-2008)

Prof. Mas’ud Machfoedz: Komisaris yang Smart dan Enerjik

Saya bersama diangkat sebagai komisaris PT Bank Tabungan Negara (Persero) berdasarkan SK MenKeu No.150/K.MK.01/2000 Tanggal 17 Mei 2000. Tugas pokok Komisaris seperti disebutkan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas adalah melakukan fungsi pengawasan.
Sebelum reformasi, tugas dan tanggung jawab Komisaris Badan Usaha Milik Negara (Persero) tidak begitu berat, bahkan ada seloroh yang menyebutkan “Komisaris itu GBHN” (Gaji Besar Hanya Nongkrong). Posisi Komisaris diisi oleh para Purnawirawan ABRI (TNI dan POLRI) dan untuk posisi Komisaris Utama Bank BTN boleh dibilang merupakan porsinya Purnawirawan POLRI.

Sejak adanya reformasi, Komisaris Bank termasuk Bank BTN diduduki oleh para profesional. Posisi Komisaris Utama diduduki oleh Pak Darmin Nasution (Dirjen LK Departemen Keuangan); yang kemudian dilanjutkan oleh Pak Dono Iskandar (mantan Sekjen Departemen Keuangan; mantan Direktur Bank Indonesia; dan mantan Wakil Pemerintah Republik Indonesia di World Bank). Sedangkan Pak Mas’ud dan saya sebagai Komisaris dengan latar belakang akademik (dosen) dan mantan Vice Rector II (bidang Administrasi dan Keuangan) di UGM dan di UNDIP.

Pada waktu itu nuansanya sudah tidak lagi GBHN, tetapi dituntut adanya profesionalisme dalam kinerja dan tanggung jawab yang berat karena di dalam Undang-Undang PT yang baru disebutkan pertanggungan-jawab Komisaris bisa sampai ke harta milik pribadi. Kita bertiga secara intensive melaksanakan tugas Komisaris lewat Lembaga-lembaga Komite Audit, Komite Resiko dan Komite Remunerasi dan Nominasi. 

Pak Mas’ud pernah menduduki posisi Ketua Komite Audit dan Komite Pemantauan Resiko. Pak Mas’ud orang-nya smart dan enerjik dengan mobilitas yang tinggi.

Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan, Pak Mas’ud masih sempat mengunjungi cabang-cabang Bank BTN dalam acara “exit meeting” setelah dilakukan kegiatan audit oleh Divisi Audit Intern Bank BTN. 

Pada saat melakukan penjualan obligasi, Komisaris juga ikut serta bersama Direksi melakukan due diligent. 

Dalam mempersiapkan Initial Public Offering, Pak Mas’ud bersama anggota Komisaris yang lain ikut bekerja keras yang pada akhirnya kini sudah bisa terwujud bagi BTN untuk menjadi PT Tbk dan menjual sahamnya kepada masyarakat. 

Salah satu kekuatan Pak Mas’ud yang menunjang kinerjanya adalah kemampuan akses ke mana-mana, disamping kepiawaiannya di bidang Akuntansi dan Keuangan.

Saya sebagai sahabat dekat pernah mengingatkan Pak Mas’ud agar bisa mengurangi kegiatannya yang seperti kitiran dan menjaga kesehatannya. Dari medical check yang terakhir bersama saya, hasilnya baik sekali. Akan tetapi nampaknya Allah menghendaki lain, dan dipanggillah dia untuk menghadap-Nya dalam usia muda dan masih sangat produktif.

Selamat jalan sahabat. Sampai ketemu…..

Daryono Rahardjo

Mantan Komisaris Bank BTN (Persero)
Periode 1995 – 2008

In Memoriam Prof. Dr. Mas’ud Machfudz: Pengayom yang Menyejukkan

Penulis mengenal pak Mas’ud semenjak penulis menjadi mahasiswa S1 di FE UGM saat beliau masih menjadi asisten dosen. Hubungan penulis dengan pak Mas’ud tidak hanya dengan beliau pribadi secara individual, namun juga dengan keluarga beliau terutama dengan bu Mas’ud yang penulis panggil dengan “mbak Umi”. 

Pada saat awal-awal mengenal pak Mas’ud (Mas’ud muda), penulis berada di komunitas organisasi mahasiswa (HMI) yang memang beliau sangat dekat dengan anggota-anggota HMI yang saat itu masih sangat bersemangat. Beliau termasuk dosen yang membantu dan mengayomi para aktivis HMI dengan cara memberi bantuan materi maupun non materi. Salah satu kedekatan beliau nampak pada acara aqeqah putra pertama beliau yang mengundang seluruh anggota HMI untuk hadir (acara ini tidak pernah beliau lupakan, karena sampai penulis lulus S3 tahun 2005, beliau selalu mengatakan: “ini lho yang dulu masak kambing saat aqeqah anakku”, sedangkan saat itu penulis hanya membantu saja). Kedekatan dengan beliau selama kuliah S1 terjalin sangat baik karena beliau yang mendekatkan diri dengan kami-kami para mahasiswa. Bahkan sampai hari ini pendamping hidup penulis masih memanggil dengan sebutan “mas Mas’ud”.

Kedekatan penulis dengan pak Mas’ud terjadi lagi pada saat penulis mengambil kuliah S3 di UGM pada pertengahan tahun 1999 saat mengikuti matrikulasi. Penulis teringat bagaimana beliau memberikan kuliah Seminar Akuntansi Keuangan dengan sangat menarik (diselingi contoh-contoh yang membuat mahasiswa terpingkal-pingkal). Penulis sempat shock saat dijelaskan teori keagenan (maklum kuliah S2 dari MM, yang jarang baca artikel klasik). Beliau mengatakan kalau calon mahasiswa S3 UGM harus paham tentang teori ini (sambil bercanda tentunya, untuk “nakut-nakuti” penulis). Sambil “nakut-nakuti” beliau sodorkan beberapa buku dan artikel kepada penulis. 

Selama penulis menjadi mahasiswa S3 UGM, penulis beberapa kali kerumah beliau untuk ‘curhat’ karena penulis merasa berat kuliah di UGM ini (sempat muntah-muntah karena baca artikel yang tidak ‘mudheng’). Beliau mengatakan bahwa kuliah S3 dimanapun tidak ada yang mudah, harus dilalui dengan suatu perjuangan. Bahkan beliau mengatakan pernah kena maag akut saat kuliah S3 di USA. 

Ada hal yang selalu penulis ingat saat “curhat”, beliau menunjuk salah satu lukisan di rumah beliau berupa kaligrafi ayat Al Qur’an yang artinya: Sesungguhnya Aku dekat……maka mintalah kepadaKU dan aku akan penuhi permintaanmu, sesungguhnya Allah selalu memenuhi janji. 
Pak Mas’ud………….selalu memberikan kalimat yang menyejukkan saat penulis gelisah dengan proses penyusunan disertasi. Saat-saat penulis mandeg – tidak ada ide untuk menulis, maka penulis “lari” ke pak Mas’ud untuk mendengar cerita dan pengalaman beliau dalam menghadapi suatu masalah.

Saat ujian disertasi, beliau selalu mencairkan suasana. Beliau mengetahui wajah dan sikap penulis yang tegang saat menghadapi ujian disertasi. Maka pak Mas’ud akan siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang serius namun dibawakan dengan penuh humor. 

Bagi yang mengenal sosok pak Mas’ud pasti akan meng”iya”kan kalau ada yang mengatakan bahwa beliau adalah pribadi yang baik, ramah, supel, suka humor, suka membantu, mengayomi, menyenangkan, dan seorang muslim yang sangat taat. 

Sifat-sifat inilah yang menjadi ciri khas beliau termasuk pada saat beliau menjadi Ketua Academics Network for Governance (ANIG) sebuah lembaga dibawah Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang menjadi forum komunikasi para Doktor yang memiliki perhatian terhadap impelementasi governance di Indonesia. Sebagai wakil ketua di ANIG, bersama pengurus lainnya yaitu Dr Etty (Bapepam) dan Dr Regina (Bakrie School of Management) penulis banyak mendapat pengetahuan berdasarkan referensi yang dibaca dan pengalaman beliau sebagai praktisi yang berkaitan dengan corporate governance.

Sebagai akademisi tidak dipungkiri beliau sangat rajin membaca buku dan artikel-artikel. Bahkan pada saat beliau di dalam pesawat beliau sering membaca majalah dan seringkali masalah yang relavan dengan GCG disampaikan dan diskusikan. Sebagai praktisi beliau merupakan pelaku langsung implementasi GCG yaitu sebagai Komisaris Utama Bank Tabungan Negara. Beliau memberikan sumbangsih berupa tenaga dan pengetahuan yang dimiliki untuk Bank milik Negara tersebut. Pengalaman beliau inilah yang sering di “share” untuk didiskusikan dengan pengurus ANIG sebagai salah satu dasar penyusunan program kerja di ANIG.
ANIG menjadi ikut lesu saat beliau menderita sakit sampai beliau memenuhi panggilan Allah. Beberapa pemikiran dan keinginan beliau melalui program kerja ANIG belum terealisir. 

Yogyakarta, April 2010

Dr. Khomsiyah, M.M., Ak.
(Dosen Univ. Trisakti, Sekretaris IAI KAPd, Terbimbing Almarhum)

Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz, M.B.A., Ak.: Pembimbing 24 Jam

Suatu kehormatan sangat besar bagi diri saya diminta oleh Panitia Seminar dan Bedah Buku: Apresiasi Untuk Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz, MBA, Ak. untuk memberikan testimoni tentang seorang tokoh (“guru”) besar yang sangat saya hormati, saya kagumi, dan sekaligus saya banggakan. Oleh karena tulisan ini merupakan testimoni pribadi, maka tidak dapat dihindari bahwa tulisan yang diungkapkan banyak diwarnai oleh pengalaman kedekatan diri saya pribadi dengan almarhum.

Saya pertama kali mengenal almarhum sejak saya menempuh matakuliah Perpajakan di Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (FE UGM). Pada umumnya, mahasiswa akan beranggapan bahwa mata kuliah Perpajakan adalah mata kuliah yang relatif sulit. Akan tetapi dengan pembawaan dan cara mengajar almarhum, maka matakuliah yang sulit menjadi terasa sangat mudah dan menyenangkan. Semua mahasiswa yang pernah diajar oleh almarhum pasti akan memiliki pendapat dan kesan yang hampir sama, yaitu bahwa almarhum adalah sosok seorang guru yang sangat humoris, sangat menyenangkan dan sangat dekat dengan mahasiswa.

Setelah menyelesaikan studi di FE UGM, pertemuan saya selanjutnya dengan almarhum hampir tidak terhitung jumlahnya karena pada saat yang bersamaan almarhum adalah kolega saya sebagai sesama dosen di STIE YKPN Yogyakarta. Almarhum cukup lama tercatat sebagai dosen tidak tetap di STIE YKPN, sedangkan saya sejak lulus dari FE UGM sampai saat ini masih tercatat sebagai dosen tetap STIE YKPN. Pertemuan saya dengan almarhum di STIE YKPN tidak hanya sebatas dalam pelaksanaan tugas mengajar, tetapi juga dalam pelaksanaan tugas sebagai sesama dosen penguji skripsi (pendadaran). Dalam berbagai kesempatan pertemuan dengan almarhum tersebut, saya banyak sekali belajar tidak hanya terbatas dalam hal pelaksanaan tugas profesional sebagai pengajar dan penguji, tetapi juga dalam berbagai bidang kehidupan sosial dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila di kelak kemudian hari almarhum akhirnya menjadi seorang guru besar (profesor) dan sekaligus tokoh masyarakat, antara lain yaitu sebagai Ketua Dewan Pengurus Wilayah Nadhlatul Ulama/DPW NU DIY.

Setelah cukup lama tidak bertemu dengan almarhum berhubung almarhum harus menempuh studi program doktor di Amerika Serikat selama kurang lebih empat tahun, akhirnya kami dipertemukan kembali ketika almarhum kembali bertugas sebagai pengajar di STIE YKPN. Pertemuan saya dengan almarhum menjadi semakin sering ketika kami bersama-sama mendapat amanat untuk menjadi pengurus Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Wilayah Yogyakarta. Pada waktu itu almarhum ditugasi sebagai Ketua IAI Wilayah Yogyakarta dan saya ditugasi sebagai Sekretaris IAI Wilayah Yogyakarta. Dalam berbagai kesempatan kami sering bertemu untuk membahas tentang kemajuan profesi akuntan di Wilayah Yogyakarta. Pada waktu bertugas sebagai Ketua IAI Wilayah Yogyakarta, kesibukan almarhum di berbagai tempat lainnya juga sangat luar biasa padat. Hal tersebut sangat dapat dimaklumi mengingat sikap dan cara pembawaan almarhum yang sangat menyenangkan dan sangat humoris, sehingga tidak mengherankan apabila almarhum dapat diterima dengan mudah oleh berbagai kalangan. Oleh karena tingkat kesibukan almarhun yang sangat padat tersebut, maka saya sering diminta untuk mewakili almarhum dalam berbagai tugas IAI Wilayah Yogyakarta.

Setelah kami bersama-sama menyelesaikan tugas sebagai pengurus IAI Wilayah Yogyakarta, pertemuan kami selanjutnya terjadi ketika saya menempuh kuliah di Program Doktor UGM. Pada saat itu saya sempat menempuh matakuliah Market Based Research in Accounting yang diasuh almarhum. Hubungan kedekatan kami yang telah terbina dalam kurun waktu yang cukup lama sebelumnya menjadikan suasana perkuliahan terasa sangat menyenangkan sehingga memudahkan bagi kami untuk dapat saling berkomunikasi dan berdiskusi tentang materi kuliah yang diasuh oleh almarhum. Pada waktu itu banyak teman kuliah yang juga ikut merasa senang melihat hubungan kedekatan saya dengan almarhum karena setidaknya dapat membantu mencairkan suasana perkuliahan yang kadang-kadang terasa cukup menegangkan mengingat materi perkuliahan yang diasuh almarhum dirasakan cukup sulit oleh sebagian besar mahasiswa.

Ketika menempuh kuliah, ada satu peristiwa yang sangat mengesankan bagi saya tentang diri almarhum. Ketika sedang bermain tenis di sela-sela kesibukan saya menempuh kuliah, saya pernah ditelpon oleh almarhum yang menanyakan mengapa saya tidak ikut kuliah yang pada saat itu sedang diasuh almarhum dan saya menyampaikan bahwa saya tidak ikut kuliah karena saya telah menempuh dan telah lulus matakuliah tersebut pada semester sebelumnya. Rupanya almarhum lupa bahwa saya telah lulus matakuliah tersebut dan almarhum akhirnya menyampaikan bahwa almarhum merasa “kangen” karena sudah cukup lama tidak bertemu dengan saya. Bagi saya itulah wujud rasa sayang dan perhatian seorang guru kepada muridnya.

Pengalaman tersebut bagi saya pasti akan selalu melekat dalam ingatan saya dan tidak akan pernah saya lupakan dalam sepanjang perjalanan hidup saya.

Pertemuan saya dengan almarhum semakin sering terjadi ketika saya menempuh disertasi karena almarhum adalah promotor pembimbing disertasi saya. Penentuan almarhum sebagai promotor, saya rasakan sebagai suatu anugerah, kehormatan dan sekaligus kebanggaan karena justru almarhum yang menawarkan kepada saya untuk menjadi promotor pembimbing disertasi saya. Hal ini tentu menjadi pendorong dan pemotivasi tersendiri bagi saya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut karena dapat dibimbing oleh seorang guru yang sangat saya hormati, tetapi memiliki jiwa besar dan sikap rendah hati karena bersedia untuk menawarkan dirinya menjadi pembimbing bagi muridnya. Saya memiliki pengalaman yang sangat luar biasa ketika menjalani proses pembimbingan disertasi tersebut, yaitu ketika almarhum menjawab sms saya yang berisi permintaan kesediaan waktu almarhum untuk dapat membimbing saya. Ketika itu jawaban sms yang saya terima dari almarhum kurang lebih berisi kalimat sebagai berikut: ”Untuk Pak Dody, waktu saya tersedia 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Jadi silakan hubungi saya kapan saja”. Selama proses pembimbingan, almarhum sering berkirim sms kepada saya untuk menanyakan sampai sejauh mana disertasi telah disusun dan kapan akan segera diselesaikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila saya dapat menyelesaikan tugas disertasi saya dalam waktu yang relatif singkat. Hal tersebut dapat terjadi pasti antara lain karena atas bantuan dan jasa almarhum yang tidak pernah berhenti mendorong, mendukung dan selalu memotivasi saya untuk segera menyelesaikan tugas disertasi. 

Akhirnya saya berharap semoga testimoni ini dapat sedikit memberi gambaran tentang sosok almarhum yang terlalu besar untuk hanya digambarkan dalam testimoni yang sangat singkat ini. Selanjutnya saya juga berharap semoga pengalaman saya mengenal almarhum dalam kurun waktu yang cukup lama tersebut dapat memberi contoh keteladanan, semangat, motivasi dan inspirasi bagi siapapun yang ingin menjadi sosok seorang guru seperti almarhum yang tidak hanya besar dalam gelar dan jabatan akademiknya, tetapi sekaligus juga besar dalam semangat pengabdiannya baik dalam bidang pendidikan, bidang sosial maupun kemasyarakatan. Selamat jalan guruku, bapakku, dan sekaligus sahabatku. Semoga Tuhan memberi tempat yang sangat mulia di sisi-Nya. Amin.

Salam hormat, 

Dr. Dody Hapsoro, M.S.P.A., MBA., Ak.

(Ketua STIE YKPN Yogyakarta, Terbimbing Almarhum)

Mengenang Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz M.B.A.,Ak.: Inspirator Amal Kehidupan

Saya mengenal Prof Mas’ud sejak masih kuliah di S1 FE UGM, meskipun saya belum pernah mengikuti kuliah beliau karena jurusan saya Manajemen, sedangkan beliau mengenal saya pada saat saya menempuh S3

Intensitas komunikasi mulai meningkat menjelang keberangkatan kami menempuh sandwich program di University of Kentucky tahun 1997 yang dilanjutkan dengan bimbingan disertasi dengan beliau bersama Prof. Dr. Bambang Riyanto (Alm.), Prof. Dr. Marwan Asri, MBA dan Dr. Bambang Riyanto L.S., MBA, Akt. 

Bimbingan proposal disertasi saya termasuk kategori relatif lama karena Good Corporate Governance (GCG), waktu itu merupakan topik penelitian yang relatif baru di Indonesia sehingga persepsi dari banyak pihak (di luar pembimbing) masih variatif. Syukur Alhamdulillah, dengan bantuan Tim Promotor dan banyak pihak, meskipun perlu waktu yang relatif lama, akhirnya disertasi bisa terselesaikan yang diakhiri dengan Ujian Terbuka di Balairung UGM pada Januari 2003. Topik disertasi saya adalah mengenai struktur GCG. Penelitian pada GCG meliputi struktur GCG dan indeks GCG. Pada penelitian dengan amatan jangka panjang (lebih dari 5 tahun), struktur GCG signifikan. Pada penelitian dengan amatan jangka pendek (1 tahun), struktur GCG dimungkinkan untuk tidak signifikan, tetapi indeks signifikan. Penelitian indeks GCG akan sulit jika dilakukan dengan amatan lebih dari lima tahun, penelitian ini feasible dalam amatan 1 tahun. Dengan demikian, menggabungkan penelitian struktur GCG dan indeks GCG dengan periode amatan 1 tahun akan sangat layak jika disimpulkan bahwa indeks GCG menjelaskan lebih baik dibandingkan dengan struktur GCG, karena struktur GCG mestinya dilakukan dalam amatan jangka panjang

Dalam proses pembimbingan, seringkali Prof. Mas’ud melontarkan pertanyaan yang tidak saya duga dan juga tidak bisa saya jawab secara langsung. Beliau hanya tersenyum jika melihat saya bingung dan meminta penjelasan pada pertemuan berikutnya. Saya pahami ini sebagai upaya beliau meminta saya secara halus untuk belajar dan membaca lebih banyak lagi. Seringkali pula beliau memberikan materi kepada saya untuk dipelajari. Interaksi ini meningkatkan kompetensi saya, terutama pada topik yang saya teliti. Selain kompetensi, sebagai Ketua Tim Promotor, beliau banyak membantu saya mengatasi permasalahan non kompetensi selama penyelesaian disertasi. Saya sangat terbantu, baik untuk kompetensi maupun non kompetensi, terutama karena pada saat saya menyusun disertasi banyak tahapan yang harus dilakukan.

Sebagaimana Iman seseorang yang dimungkinkan untuk naik dan turun, semangat menyusun disertasi ternyata juga bisa naik dan turun. Beberapa kali beliau memompa semangat kami (saya, Prof. Dr. Bambang Sutopo dan Prof. Dr. Grahita Chandrarin) dengan bertemu secara informal melalui makan siang. Hal yang masih saya ingat adalah canda beliau agar kami makan otak supaya disertasi cepat selesai (tentunya juga nasihat yang selalu beliau sampaikan pada kami, tidak hanya sebatas penyelesaian disertasi tetapi juga mengenai hidup dan kehidupan).

Mengenang Prof Mas’ud rasanya hanya melihat sisi kebaikan beliau yang rasanya tanpa cacat. Kebaikan beliau yang tidak hanya sebatas kompetensi akademik, tetapi juga mengenai hidup dan kehidupan. Beliau adalah salah satu dari beberapa pihak yang secara signifikan telah mempengaruhi nilai hidup saya ke arah yang lebih baik. Insya Alloh apa yang telah beliau berikan pada saya, pada kami semua, murid-muridnya akan merupakan amalan sholih beliau. Kebajikan yang kami amalkan, yang terinspirasi dari apa yang beliau sampaikan ataupun perbuat, Insya Alloh juga merupakan amalan sholih bagi beliau. Saya tidak mungkin dapat memberikan balasan pada kebaikan yang telah beliau berikan. Rasanya hanya do’a serta usaha berbuat baik, agar kebaikan yang saya lakukan juga merupakan amalan sholeh bagi beliau. Terimakasih Prof, Prof Mas’ud akan selalu menjadi inspirasi saya dalam beramal baik, baik dalam bidang akademik maupun kehidupan dalam artian yang lebih luas.

Yogyakarta, April 2010.

Dr. Tri Gunarsih, MM, Ak.. 
(Pembantu Rektor II UTY, Terbimbing Almarhum)

Prof. Mas'ud: Terimakasih dan Selamat Jalan Prof.....

”Telah berpulang ke rahmatullah Prof. Dr. Mas’ud Machfoedz, MBA hari ini 26 Desember 2008, 21.30 WIB.”Begitulah bunyi SMS yang bertubi-tubi datang. Walau telah sekuat tenaga beliau ingin sembuh, namun Allah telah mempunyai rencana lain yang lebih indah untuk almarhum.

Innalillahi wainnailaihi roji’un...

Mengingat beliau seperti mengingat penggal-penggal perjalanan anak manusia yang selalu berupaya menyenangkan orang lain, dengan cara apa pun. Menjadi lilin untuk menerangi orang-orang sekitarnya, walau untuk itu lilin tersebut akhirnya meleleh, habis...
Setiap urusan akademik, selagi bisa dipermudah, beliau akan usahakan dipermudah. Di kemudian hari penulis baru tahu dari putra beliau bahwa hal yang sama juga pernah beliau alami ketika menyelesaikan S3 di Amerika. 

Tidak mengherankan, banyak mahasiswa (termasuk penulis) beliau yang nyaman ketika bertemu dan bertanya tentang apa saja ke beliau. Melalui rekomendasi beliau pula penulis diterima sebagai dosen pertama kali. Atas saran beliau pula, penulis tetap melangkah menempuh jenjang S2 dan S3. Alasan beliau sangat simpel, dosen itu ya harus selalu belajar.

Berulangkali, ketika menghadapi kesulitan-kesulitan biaya studi beliau memberi pekerjaan-pekerjaan yang bahkan dibayar melebihi nilai pekerjaan itu sendiri. Tawaran pekerjaan itu sering datang pada saat yang tepat, ketika harus membayar SPP.

Disertasi ini juga banyak diinspirasi oleh beliau. Disertasi kata beliau, jika memungkinkan, menjelaskan fenomena yang sedang terjadi. Dukungan beliau, termasuk menghubungkan dengan ko promotor Prof. Dr. Gunadi, selanjutnya memudahkan penulis masuk ke beberapa key persons Ditjen Pajak. Dari key persons itu lah data dan informasi dari dalam Ditjen Pajak bisa penulis peroleh.

Dalam pekerjaan pun, kebiasaan beliau memberi target waktu yang mepet mengajarkan kepada penulis untuk selalu bekerja keras. Karena, kata beliau hidup ini singkat, dan berupayalah berbuat sebanyak mungkin untuk ibadah dan muamalah.
Bagi penulis, dan mahasiswa-mahasiswa beliau yang lain, kepergian beliau akan tetap selalu menginspirasi. Karena, kata beliau the best teacher is inspiring.

Dari lubuk hati yang paling dalam, terimakasih dan selamat jalan Prof…


Dr. Fakhry Husein, M.Si.
(Dosen Universitas Islam Negeri Yogyakarta, Terbimbing Almarhum)

Prof Mas’ud Machfoedz: Tokoh yang Bersahaja dan “Low Profile”

Bagi Saya, Prof Mas’ud Machfoedz adalah sosok guru, dosen, sahabat, mitra kerja dan seorang tokoh masyarakat yang amat bersahaja dan “low profile”, sangat cocok dengan culture daerah kelahirannya Yogyakarta. Beliau tidak saja sebagai role model dosen dan guru besar di Fakultas 
Ekonomi dan Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, namun pengabdiannya juga meliputi organisasi sosial kemasyarakatan dan keanggotaan di organisasi profesi.

Sebagai tenaga pendidik di jurusan bergengsi di UGM, tentu tidaklah lengkap jika tidak memiliki pengalaman riil di pembinaan usaha baik di lingkungan universitas maupun di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di usianya yang sudah tidak muda lagi seolah berpacu dengan waktu, justru beliau semakin bersemangat pulang pergi Jogyakarta – Jakarta dan terkadang harus melakukan perjalanan ke beberapa kota lainnya memenuhi komitmen intelektual, spiritual, moral dan emosionalnya sebagai pendidik, praktisi sekaligus pejuang di dunia profesinya.

Mungkin ini pula yang menjadi sebab beliau agak kurang memperhatikan derajat kesehatannya. Di saat usianya sudah lebih dari setengah abad, justru aktivitasnya semakin bertambah.

Tampaknya mustahil tanpa bimbingan, dorongan dan nasehat yang terus menerus sejak mulai pendaftaran, perkuliahan (baik di Jakarta maupun di Jogyakarta) pada saat disertasi, sampai ujian akhir, saya mampu menyelesaikan Program Pasca Sarjana di UGM. Disertasi saya yang berjudul “Pengaruh Privatisasi Badan Usaha Milik Negara Terhadap Kesejahteraan Rakyat – Interdisciplinary Studies” adalah buah dari hasil karya bimbingannya.

Di sela kesibukan saya sebagai Pejabat Menteri Negara BUMN 2004-2007, saya selalu meluangkan waktu untuk bertatap muka dengan beliau karena persahabatan yang terbangun dengan beliau seolah menyatukan bathin kami untuk terus saling mengisi guna tujuan yang sama yakni pengabdian yang luhur bagi masyarakat dan bangsa. Di tengah-tengah perjuangan beliau untuk mengatasi penyakitnya, meski tidak kurang dari empat kali pertemuan, di rumah kediaman maupun di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta, serta di ujung penyelesaian disertasi saya. Alhamdulillah berkat peran beliau sebagai promotor, saya mampu menyelesaikan program doktor studi antar bidang (interdisciplinary studies) dengan judicium ”Cum-Laude” dalam waktu kurang dari tiga tahun pada bulan Agustus 2008 yang lalu. Walaupun beliau tidak mampu ikut menghadiri ujian terbuka saya karena penyakit yang dideritanya.

Tiga kali saya mengunjungi beliau di Rumah Sakit Sardjito, dengan jelas beliau menunjukkan rasa optimismenya untuk tetap hidup melanjutkan karya-karya nyatanya kepada keluarga dan masyarakat. Beliau, di akhir ajalnya, justru terlihat begitu ikhlas, sabar dan tetap istiqomah. Doa dari para sahabat seperjuangannya di PWNU Wilayah Jogyakarta dan rekan-rekan civitas akademika Universitas Gajah Mada di saat-saat menjelang hari ajalnya, seolah menuntaskan perjalanan amal mulianya di dunia dan sekaligus mengantarkannya kembali menuju Sang Pencipta, Allah SWT.

Semoga keteladanan almarhum semasa hidupnya menjadi bekal yang berguna bagi kita semua untuk melanjutkan cita-cita perjuangan kepada bangsa dan negara. Amien Allahuma Amien.

Dr. Sugiharto

(Menteri BUMN periode 2004-2007, Terbimbing Almarhum)