Mengawali testimoni ini, saya ingin menukil salah satu alinea ucapan terima kasih yang termaktub dalam naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar saya berikut: ”Dihaturkan juga terima kasih kepada para Pimpinan, Kyai, Nyai, Alim-Ulama dan aktifis NU, Banom-Lembaga-Lajnah, struktural-kultural, yang 30 Januari 2008 ini merayakan Harlah NU ke-82, atas kerjasamanya dalam urusan peningkatan mutu keberagamaan dan kesejahteraan. Kepada KH.Asyhari Marzuki (alm), KH Asyhari Abta, Prof.Mas’oed Machfoedz, KHA.Malik Madani, KH Masdar F.M, Gus Mus, dsb, yang telah mendidik saya ‘menjadi’ seorang nahdliyyin, diucapkan syukron jazilan”.
Dalam kesempatan sangat formal tersebut ungkapan terima kasih itupun masih saya tekankan pula dengan ucapan yang agak berkelakar akan tetapi sungguh memiliki kedalaman ketulusan dan kejujuran sbb.: ”Secara khusus kepada Prof. Mas’oed Machfoedz saya sampaikan ucapan terima kasih tiada terhingga, karena atas prakarsanya, saya kemudian memperoleh kesempatan untuk bertobat dan kembali ke habitat, Nahdlatul Ulama”.
Tidak mengada-ada, meski hadlirin Rapat Senat Terbuka UGM ketika itu menyambut riuh dengan ketawa. Itulah intisari testimoni saya terhadap Almarhum. Pergaulan dengan Almarhum yang teramat formal dan terbatas dalam lingkungan kampus UGM kemudian menjadi sangat cair dan mengesankan sejak saat itu, 2001, ketika secara resmi saya dipercaya membantu Almaghfurlah sebagai seorang Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Propinsi DIY periode 2001-2006 dan 2006-2011.
Kepercayaan ini sungguh bukan main bagi saya, teramat inspiring bagi seorang warga jelata Nahdliyin yang telah hilang dan tidak pernah menjadi anggota IPNU, GP Ansor, dan Pengurus NU pada tingkat manapun, tiba-tiba saja harus kembali ke habitat dengan jabatan Wakil Ketua PWNU. Inipun berlanjut dengan khidmat perjalanan yang harus menggantikan sebagai Pejabat Ketua sepeninggal Beliau dan kemudian dilanjutkan lagi dengan penunjukan Rais Am dan Ketua Umum PBNU 2010-2015 kepada saya hari-hari ini untuk menjadi salah satu Ketua PBNU. Semua itu adalah jejak kebesaran Almarhum.
Khidmad paripurna untuk hidup sebagai Pimpinan NU telah Beliau ajarkan dengan jiwa-raga dan hartanya secara ikhlas sebagai terjemahan paripurna dari Firman Allah SWT bagi setiap muslim untuk senantiasa berjuang di jalan Allah dengan keluarga, harta dan jiwa-raga: bi amwaalihim wa anfusihim, meski senantiasa Beliau jalankan dengan sangat sederhana, tanpa riya’ dan kesombongan, dan tidak pernah muluk-muluk.
Satu hal yang menarik dari kesederhanaan tersebut adalah intisari program kerja yang beliau kerucutkan dalam tiga sisi besar kebutuhan dasar, the real need, pada tingkat jama’ah NU, meliputi: pengembangan pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Untuk keperluan peningkatan pelayanan NU kepada jama’ah mutlak diperlukan benah organisasi yang profesional dalam pelayanan publik.
Konsekuensi profesionalitas itulah yang kemudian diterjemahkannya bagi PWNU-DIY dalam berbagai perspektif. Pertama, pada tingkat politik, PWNU-DIY telah menempatkan dirinya pada maqam yang sangat strategis dalam jajaran PWNU se Indonesia. Netralitas NU dari politik praktis telah dipertontonkan PWNU-DIY dengan sangat anggun dan tidak bisa ditawar. Netralitas ini merupakan landasan kokoh bagi proteksi diri PWNU-DIY dari penyakit Orsos pada umumnya, yaitu privatisasi, komersialisas dan politisasi. Sikap netral dan kesamaan kedekatan terhadap kepentingan politik praktis dan kepentingan apapun tegas sekali dipertahankan dan dilanjutkan oleh PWNU-DIY. Ketegasan ini nampak semakin nyata semenjak Pemilu dan Pilpres 2004.
Ke-dua, pada tingkat kaderisasi, profesionalitas tersebut menjadi landasan PWNU untuk menyapa warga lebih intensif, terutama kader-kader muda dan aktor strategis NU yang berada di pesantren, perguruan tinggi, birokrasi, jalur politik, dan sebagainya. Relasi Jam’iyah-Jama’ah yang terasa semakin kering lambat laun mulai terehabilitasi melalui kepemimpinan Almarhum. Hal ini teramat terasakan terutama terhadap kelompok Nahdliyin yang kesehariannya sibuk dengan urusan profesi dan pendidikan tinggi. Semakin banyak Mahasiswa, Dosen dan Birokrat yang merasa bangga menampakkan identitasnya sebagai NU dalam masa kepemimpinan Almarhum.
Ke-tiga, dalam perspektif manajemen kelembagaan PWNU-DIY, profesionalitas operasional telah dibangun Almarhum dengan sangat sempurna. Dalam kesibukannya di UGM dan beberapa jabatan di Jakarta, perjalanan PWNU-DIY tidak pernah ketinggalan ketika dibandingkan dengan sesama PWNU di Indonesia, kendati kepemimpinannya sering dijalankan dalam jarak jauh, in absentia. Padahal kehebatan dan kesibukan itupun masih harus dibebani juga dengan kesibukan tambahan Almarhum sebagai tenaga ahli Ketua Umum PBNU dalam urusan hubungan luar negeri.
Ke-empat, kepemimpinan dalam dua periode kepengurusan, 2001-2006 dan 2006-2011, sungguh diwarnai oleh bangun landasan silaturrahim antar fungsionaris yang sangat kuat, bahkan sampai pada tingkat keluarga. Dalam hal ini, prinsip Beliau untuk mengedepankan kesamaan daripada perbedaan sangat mewarnai perjalanan PWNU. Hal ini tidak berarti Almarhum tidak akomodatif terhadap warna dan pemikiran berbeda. Beliau sangat akomodatif dan super egaliter. Salah satu yang dicontohkannya dalam ber-NU berkenaan dengan posisi saya. Meski mas Mas’oed sering menyebut saya sebagai oposisi dalam kepengurusan PWNU 2001-2006, Beliau toh tetap bersikeras ’memelihara’ keberadaan saya dalam kepengurusan PWNU 2006-2011.
Ke-lima, kekompakan tim adalah segalanya dalam gerak PWNU-DIY. Atas nama kekompakan gerak kepengurusan inilah, isu-isu kontroversial yang tidak mungkin dipertemukan, tidak pernah Beliau bicarakan lebih jauh karena besarnya potensi pro-kontra internal. Pemikiran tentang penambangan pasir besi di Kulon Progo, pro-kontra privatisasi BUMN, keistimewaan DIY, ekonomi NU dan liberalisme, dan banyak lagi isu, terpaksa dikebumikan untuk menghindari tersendatnya perjalanan PWNU-DIY. Sikap menengah yang diajarkan Almarhum seperti ini sangat tinggi hikmahnya karena sudah bisa dipastikan bahwa pembicaraan akademik untuk perihal tersebut di tingkat PWNU akan menemui jalan buntu karena keragaman keterwakilan stakeholders dalam PWNU.
Terakhir, kontribusi dan komitmen almarhum bi amwalihi wa anfusihi sungguh sangat nyata dan paripurna dalam membangun PWNU-DIY. PWNU-DIY telah menjadi semakin besar dan nyata sekali eksistensinya, bukan sekedar terbatas pada megahnya fisik Gedung PWNU DIY sebagai salah satu waqaf ubudyah Almarhum, tetapi dalam segala citra dan kiprah kelembagaan. Satu hal yang sangat pasti dan berbeda dengan lainnya, komitmen membangun kebesaran PWNU-DIY telah Beliau lakukan dengan tanpa pernah Beliau numpang besar sebagai pimpinan NU.
Memang itulah sebuah keniscayaan. KETIKA, sebagian fungsionaris NU numpang besar NU, membangun kebesaran diri pribadinya dan melampiaskan syahwat jangka pendeknya melalui kebesaran NU, bahkan terkadang dengan menjual NU berikut jama’ahnya, almarhum Mas’oed Machfoedz almaghfurlah tidak pernah melakukannya. Dalam sudut pandang kalangan Nahdliyin, Mas’oed Machfoedz memang sudah besar dengan komitmen dan pengabdiaannya. Itulah kebesaran yang teramat mulia, sekaligus pencerahan masa depan kejam’iyahan NU, insya Allah. Lahu Al-Fatihah.
Prof. Dr. Mochammad Maksum Machfoedz
(Ketua PWNU-DIY, Ketua PBNU, Guru Besar FTP UGM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar