Ketika tiba saat perpisahan
Janganlah ada duka
Sebab yang paling kau kasihi dalam dirinya
Mungkin akan nampak lebih cemerlang dari kejauhan
Seperti gunung yang nampak lebih agung
Dari padang dan daratan.
(Kahlil Gibran)

Jumat, 30 April 2010

Hidup Belajar Kekal (Untuk Kenangan Bersama Prof. Mas’ud Machfoedz)

karena dinding kelas adalah kisah 
perjalanan yang mengasyikkan 
mata dan ingatan anak itu 
tawa dan kebijaksanaan
melambai dan berjanji
akan pertemuan kembali. 

fajar atau senja 
di balairung terakhir 
selarik doa terbisik
mati adalah akhir semua resah 
segalanya kau miliki sekarang
untuk kau pamerkan padaku
dan sekeping tetenger atasmu
hening dalam keramaian
setahuku kau melintas cepat
tetapi hidupmu untuk belajar kekal

 

Kontak pertama saya dengan Pak Mas’ud terjadi pada bulan Januari 1987. Seorang pria muda dengan dandanan rapi, rambut ikal, dan wajah cerah menyapa kelas kami dengan senyum lebar. Lalu, minggu demi minggu berlalu dengan tawa riang di kelas sambil belajar akuntansi pengantar. Pelajaran yang semestinya membosankan dan membuat bingung kami lalap dengan atensi penuh setiap pria tersebut mengajar. Pak Mas’ud memang jagoan dalam mengelola khalayak. Learning is fun dengannya.

Kepiawaian Pak Mas’ud menyihir lawan bicara termasuk kategori kaliber besar. Pelafalan kata yang khas, disertai dengan bahasa tubuh yang pas, senantiasa mengundang perhatian orang untuk selalu mendengarkan kalimat-kalimat yang dia ucapkan. Humornya pun selalu tepat waktu dan suasana. Saya belum pernah bertemu dengan orang yang mempunyai kesan kurang baik tentang cara Pak Mas’ud berkomunikasi. Semua kalangan dengan pelbagai tingkat pendidikan, dari orang biasa sampai mahasiswa pascasarjana, saya yakin, menikmati betul cara Pak Mas’ud merangkai materi pembicaraan. Kata-kata yang lugas dibumbui dengan lelucon yang menggelitik menjadikan Pak Mas’ud seorang master komunikator.

Saya mengenal Pak Mas’ud lebih mendalam selama srawung kami di Lexington, Kentucky. Berdua dengan almarhum Mas Nur Indriantoro, pria ramping itu menjemput saya dan Ida, istri saya, di lapangan terbang Blue Grass. Malam itu, kami menginap di apartemen keluarga Pak Mas’ud. Sebetulnya kami sudah beroleh tempat tinggal saat itu. Namun, Pak Mas’ud bilang kami harus mencicipi kalkun panggang masakan Mbak Umi. Kami tidur di kamar Pak Mas’ud dan Mbak Umi. Sementara mereka berdua mengalah dan berdesakan dengan ketiga putra-putri mereka di kamar sebelah.

Esoknya, ada sesi belanja. Pak Mas’ud mengantar kami berdua membeli perlengkapan rumah tangga. Pak Mas’ud tidak hanya mengantar, tetapi bertindak bagaikan shopping advisor. Walhasil, kami menghabiskan ratusan dollar untuk aneka barang yang sebagian tidak kami butuhkan: selimut listrik, pelembab ruangan, dan tirai kamar mandi. Belakangan kami tahu bahwa mahasiswa yang datang ke Lexington biasanya tidak perlu membeli barang-barang baru. Selalu ada stok barang warisan teman yang sudah pulang ke Indonesia. Rupanya terjadi kekeliruan persepsi Pak Mas’ud atas kondisi perekonomian kami. Ketika saya “menuntut pertanggungjawaban” Pak Mas’ud, tawa berderai-derai hasilnya. “Beredar kabar kamu ini orang kaya, Er. Makanya saya tak berani menawarkan barang-barang bekas pada kalian.” Pak Mas’ud kemudian mengantarkan kami untuk mengembalikan segenap barang tersebut ke toko.

Selamatlah persediaan uang kami.

Selama setahun itu saya mengamati bagaimana Pak Mas’ud menghargai tamunya dan temannya. Tempat tinggal keluarga Pak Mas’ud selalu menjadi ruang rapat persiapan dan eksekusi penyambutan tamu yang berasal dari tanah air. Selalu ada acara yang hangat. Ada suasana kekeluargaan yang menghapus rasa sedih karena jauh dari kerabat.
Penghargaan Pak Mas’ud kepada teman acapkali berwujud spontanitas tak terduga. Suatu tengah malam pintu apartemen kami diketuk orang. Bergegas saya melihatnya. Pak Mas’ud berdiri di luar dalam dingin udara musim gugur. “Er, ikut saya ya. Ada barang yang harus kita angkat.” Berdua kami berkendara ke suatu pusat pertokoan yang, tentu saja, sudah sunyi. Rupanya Pak Mas’ud melihat ada sofa bekas pakai tetapi masih bagus yang ditinggalkan pemiliknya di sana. Kemudian kami memindahkan sofa berat tersebut ke apartemen seorang kawan yang baru tiba dari Indonesia. Sungguh, malam itu saya melihat sorot mata puas di wajah Pak Mas’ud.

Pak Mas’ud adalah seorang pekerja keras. Durasi dua tahun sepuluh bulan untuk menempuh program doktoral di universitas kami mungkin adalah sebuah rekor yang sulit disamai. Disertasi Pak Mas’ud dikerjakan dengan semangat luar biasa. Boleh dikatakan pagi hari didiskusikan dengan promotor, sore hari naskah revisian sudah Pak Mas’ud kirimkan kembali ke pembimbing. Ketika saya menemani Pak Mas’ud pada hari ujian disertasinya, saya memohon kepada Profesor Keller, pembimbing utama Pak Mas’ud. “Please have mercy and be easy on him,” kata saya. Profesor Keller menukas cepat sambil tersenyum lebar dan menunjuk Pak Mas’ud. “You should not worry about him. Ask him to have mercy on us.” Beberapa tahun kemudian, tatkala saya berkesempatan menempuh pendidikan S3 di tempat yang sama, Profesor Keller selalu menanyakan kabar Pak Mas’ud. Dalam nian kesan Pak Mas’ud di benak Pak Keller. 

Maha suci Allah dengan segala ciptaan-Nya. Semua pujian hanyalah bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. Testimoni ini bukan saya persembahkan untuk Pak Mas’ud. Dia tidak membutuhkannya. Kenangan ini saya tulis untuk kepentingan kita. Kita yang telah merasakan kehadiran Pak Mas’ud dahulu. Kita yang mempunyai ingatan yang membekas. Kita yang memerlukan kehadiran Pak Mas’ud dalam memori dan doa.

Saya bersyukur mengenal seorang Mas’ud Machfoedz. Saya merayakan kenangan atasnya kini dan nanti. Saya berdoa dan yakin Pak Mas’ud telah menempuh hidup baru yang lebih indah. Saya mengingat dia dalam cinta, karena waktu akan berjalan selamanya.

Dr. Ertambang Nahartyo, M.B.A., Ak.
(Kolega, Pengelola Program MEP FEB UGM)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar